BAB II
TASAWUF AKHLAQI
A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Kata
tasawuf merupakan mashdar dari dasar kata Tasawwafa
Yatasawwafu Tasawwufan dengan makna bulu yang banyak, dengan arti
sebenarnya adalah menjadi sufi, yang cirri khas pakainnya selalu terbuat dari
bulu domba (kain wol).
Ada
beberapa definisi tentang pengertian tasawuf yang dikemukakan oleh ahlinya,
antara lain yaitu:
a. Imam Al-Ghazali mengatakan, bahwa
tasawuf ialah budi pekerti, barang siapa yang memberi bekal budi pekerti
atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu.
b. Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari
menyebutkan, tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang penyucian jiwa,
tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagian
yang abdi.[1]
Sedangkan
akhlak yang menurut bahasa ialah budi pekerti, perangai, tingkah laku dan
tabiat.
Imam
Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
yang dari padanya timbul perbuatan-parbuatan dengan mudah dan tidak perlu
pertimbangan pemikiran.
Beliau juga
menyebutkan, tasawuf ialah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang
dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang mudah. Jika keadaan tersebut
melahirkan perbuatan yang terpuji dan baik menurut syariat Islam, maka disebut
akhlak yang baik. Sebaliknya jika melahirkan perbuatan yang buruk maka disebut
akhlak yang buruk.[2]
Maka dapat
disimpulkan bahwa taswuf akhlaqi adalah perbuatan serta tingkah laku yang baik
yang tertanam dalam jiwa dengan tiada paksaan dan pemikiran terlebih dahulu
sehingga dapat mencapai makrifat dan mahabbah kepada Allah SWT.
B. Perkembangan Tasawuf akhlaqi
- Hasan
Al-Bashri
Nama
lengkap beliau adalah Abu Said Al-Hasan Bin Yassar Al-Bashri (642 M-728 M).
Beliau mendapatkan ajaran tasawuf dari Huzifah Bin Al-Yaman, sehingga ajaran
itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Maka beliau
dikenal sebagai seorang sufi yang sangat dalam ilmunya lagi zahid, yakni
kekosongan hati terhadap dunia.[3]
Dalam
mengamalkan zuhud, beliau berpendapat bahwa kita harus lebih dulu memperkuat
tawakkal kepada Allah SWT. Ada beberapa hikmah yang dilontarkan kepada
murid-muridnya, diantara lain ialah:
- Perasaan
takut yang mengarah kepada perasaan tentram, lebih baik dari pada perasaan
tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b.
Tafakkur
membawa kita kepada kebaikan yang akan dikerjakan. Menyesal atas kesalahan,
berarti kita sadar dan akan meninggalkannya. Maka jagalah sesuatu yang menjadi
tipaun bagimu.
c.
Orang yang
beriman selalu berduka cita, karena ia hidup diantara dua ketakutan, yaitu
takut atas dosa yang telah ia perbuat dan takut memikirkan dosa yang akan dia
perbuat.
d.
Akhir
kehidupan dunia merupakan awal khidupan di dalam kubur.
e.
Manusia
harus sadar, bahwa kematian sedang menghadangnya.
f.
Waspadalah
terhadap dunia ini dengan penuh kewaspadaan, karena dunia ini ibarat seekor
ular yang licin dipegang, namun bisanya mematikan.
2.
Al-Ghazali
Nama
lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali (1058
M-1111M). Beliau seorang filsuf, ahli hukum dan sufi. Beliau lahir dan
meninggal di Thus, Persia.
Pada masa
mudanya, beliau menarik perhatian gurunya karena kecerdasan dan kesungguhan
beliau dalam belajar. Beliau belajar di Naysabur pada Al-Juwaini, seorang Imam
Haramain, dan Al-Ghazali di tunjuik sebagai guru hokum Islam pada Madrasah
Nizamiyah di Baghdad yang didirikan oleh Gubernur Nizam Al-Mulk, yakni seorang
negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus sebagai pendiri madrasah.
Beliau
banyak menulis Karya Ilmiyah, diantara karya terbesarnya ialah:
-
Ihya ‘Ulumu Ad-Din ( Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu
Agama)
-
Al-Munqit Min Al-Dhalalah ( Penyelamat dari Kesesatan)
-
Tahafut Al-Falasifah ( Sanggahan Terhadap pemikiran Kaum
Filsuf)
-
Kimia As-Sa’adah ( Kimia kebahagiaan)
-
Ayyuha Al-Walad ( Wahai Anak Muda)
-
Miskat Al-Anwar ( Lentera Berbagai Cahaya)
Al-Ghazali
membawa suatu zaman yang mengakhiri masa
pertikaian dan sekaligus mengawali zaman baru. Jikalau wahyu yang diterima
Rasullah ibarat lensa cekung, dalam artian menyatukan pengetahuan dari alam
Tuhan ke alam semesta ini. Maka Al-Ghazali di ibaratkan sebagai lensa cembung,
yakni menangkap berbagai sinar cahaya lalu menyatukannya kembali.[4]
3.
Al-Muhasibi
Nama
lengkap beliau ialah Abu Abdullah Al-Harits Bin Asad Al-Bashri Al-Muhasibi.
Lahir di kota Bashrah pada tahun 165 H. Beliqau digelar Al-Muhasibi karena
dikenal sebagai orang yang senag mengintropeksi diri sebelum terjerumus ke
dalam perbuatan dosa.
Mulanya
beliau adalah tokoh Muktazilah dan
membela ajaran rasionalisme Muktazilah,
namun kemudian beliau meninggalkannya beralih ke dunia kesufian. Sebagai
seorang guru Junaid Al-Baghdadi, beliau
juga seorang intelektual yang merupakan moyang imam Syazali. Beliau mempunyai
banyak kelebihan, diantaranya yaitu:
-
Jasa
beliau sangat dihargai oleh murid-muridnya.
-
Allah
melindungi Al-Muhasibi dari makanan haram, karena urat dan jari-jarinya tidak
berfungsi, begitu pula tenggerokannya tidak bisa menelan makanan yang tidak
halal.
Sedangkan
pokok-pokok pemikiran yang beliau kembangkan adalah sebagai berikut:
a.
Manusia
yang baik adalah akhiratnya tidak terpengaruh dengan dunianya.
b.
Sikap baik
adalah menahan derita, belas kasihan, memperlambat tutur kata dan memperindah
tingkah laku.
c.
Orang
zalim selalu berada dalam kiamat walaupun dipuji orang, sedangkan orang yang di
zalimi akan selamat meskipun dicela orang.
d.
Tawakkal
adalah salah satu tingkatan ahwal bukan maqamat, sedangkan Ridha adalah salah
satu akhir dari maqamat untuk kemudian memasuki ahwal.
Al-muhasibi
menulis Ar-Riayah Li Huquqillah, sebuah
kitab sufi yang memuat masalah tasawuf. Beliau wafat di Baghdad pada Tahun 243
H.[5]
4.
Al-Qusyairi
Nama
lengkap beliau adalah Abdul Karim Bin Hawazin Bin Abdul Malik Bin Thalhah Bin
Muhammad An-Naisaburi.
Sebagai
seorang tokoh sufi terkemuka yang sering tampil dimuka umum, beliau mendapat
berbagai halangan dan rintangan dari pemerintah Dinasti Saljuk untuk dilarang
tampil dimuka umum selama 15 Tahun, walaupun demikian, beliau tetap tegar dalam
masalah ini tanpa mengeluh sedikitpun.
Sebagai
seorang sufi terkenal, beliau mempunyai pokok-pokok pemikiran, antara lain:
a.
Orang yang
mengenal Allah, dan pengenalannya itu telah sampai kepada keyakinan yang kuat,
maka pengenalannya disebut makrifat.
b. Orang yang sudah sampai kepada
derajat makrifat, maka setiap gerak dasar pembicaraannya harus didasari ilmu.
c.
Makrifat
adalah sifat orang yang mengenal Allah melalui sifat dan asma-Nya dengan
meninggalkan sifat yang tercela.
[2] M. Abdul Mujieb dkk, Ensiklopedia
Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta Selatan:Mizan Publika, 2009) hlm.38
[3] Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin Ila Jannati Rabbil ‘Alamin (Jeddah:Haramain),
hlm.7.
[4] M. Abdul Mujieb dkk, Ensiklopedia
Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta Selatan:Mizan Publika, 2009) hlm.119
[5] Ibid,hlm.134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar