BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Pendekatan historis ini adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu
sampai sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama
bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman
manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur
empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Berikut ini ada beberapa tema yang
akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
- Kitab
suci
- Kenabian
Muhammad
- Institusi-institusi
Keislaman
- Hubungan
Islam-Kristen
Untuk mengetahui lebih jauh,
penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “ PENDEKATAN
FILOLOGIS DAN HISTORIS”.
B. Rumusan
Masalah
- Apa
pengertian Historis?
- Apa
pengertian Kitab suci?
- Apa
pengertian Kenabian Muhammad?
- Apa
pengertian Institusi keislaman?
- Bagaimana
hubungan Islam-Kristen?
C. Tujuan
- Untuk
mengetahui pengertian Historis!
- Untuk
mengetahui pengertian Kitab suci!
- Untuk
mengetahui pengertian Kenabian Muhammad!
- Untuk
mengetahui pengertian Institusi keislaman!
- Untuk
mengetahui hubungan Islam-Kristen!
D. Sasaran
Yang Ingin Di Capai
Semoga dengan adanya makalah ini
dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta
menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
BAB II
PENDEKATAN FILOLOGIS DAN HISTORIS
Pendekatan Historis
Ditinjau dari sisi etimologi, kata
sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah
(pohon) dan dari kata history dalam
bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu
pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam,
khususnya manusia.
Melalui
pendekatan ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah ini amat
diperlukan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkrit,
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini,
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam, hal
ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai
pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu; konsep dan
kisah sejarah.
Pendekatan historis ini adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu
sampai sekarang.[1] Menurut
Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif.
Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu
agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan
normatiflah yang menjadi rujukan.
Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk
menemukan gejala-gejala agama dengan menelusuri sumber di masa islam, maka
pendekatan ini bisa didasarkan kepada personal historis atau atas perkembangan
kebudayaan pemeluknya. Pendekatan semacam ini berusaha untuk menelusuri awal
perkembangan tokoh keagamaan secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan
jejak perkembangan perilaku keagamaan sesuai dialog dengan dunia sekitarnya,
serta mencari pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pendekatan
sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah pengembangan teori tentang
evolusi agama dan perkembangan kelompok-kelompok keagamaan.[2]
Bersamaan dengan pendekatan
filologis, pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam tradisi kajian
islam modern. Kajian terhadap naskah-naskah klasik keislaman telah merangsang
mereka untuk mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen
yang telah ada.
Berikut ini ada beberapa tema yang
akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
1. Kitab Suci
Salah satu
pedoman hidup dalam beragama adalah kitab suci, kitab suci agama Islam adalah
Al-Qur’an. Sebagai simbol keabsahan suatu agama dan pedoman bagi para
penganutnya, Islam memiliki nilai yang tinggi bagi para penganutnya. Keyakinan
ini sepertinya masih salah dipahami oleh orang-orang Barat, terutama mereka
yang masih terpengaruh oleh doktrin lama agama mereka, yakni agama Yahudi dan
agama Nasrani.
Pada
awalnya, Yahudi dan Nasrani tidak mengakui Al-Qur’an sebagai wahyu Allah swt.
Penolakan ini terjadi dan dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat terhadap sikap
Maurice Bucaile disaat memperlakukan sama dan sejajar antara Al-Qur’an dengan
kitab-kitab terdahulu sebagai wahyu yang tertulis.[3]
Studi
al-Qur’an yang dilakukan sarjana Barat pada dasarnya terfokus pada
persoalan-persoalan kritis yang mengelilingi kitab suci orang Islam ini. Persoalan-persoalan
tersebut seperti pembentukan teks al-Qur’an, kronologis turunnya al-Qur’an,
sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara al-Qur’an dengan kitab
sebelumnya, dan isu-isu lain seputar itu.
Kebanyakan
karya dalam problem itu dilakukan oleh sarjana abad 19, yang paling penting
adalah Theodor Noldeke. Kajian kritis terhadap al-Qur’an adalah juga dilakukan
oleh sekelompok sarjana Jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Proyek ini
berhenti saat terjadi pengeboman kota Munich dalam Perang Dunia II yang
menghancurkan manuskrip dan bahan-bahan lain.
Kesalahpahaman
orang-orang Barat terhadap Islam memiliki dasar sentiment, fanatisme dan sikap
ketidak adilan. Hal ini terungkap saat dibukanya dokumen “Orientasi untuk Dialog antara Ummat Kristen dan Ummat Islam”.[4]
2. Kenabian Muhammad saw
Aspek kenabian dalam lingkup
pembicaraan agama-agama besar dunia merupakan sesuatu yang mesti diperjelas.
Nabi-nabi besar yang telah diutus oleh Allah SWT.telah membuktikan kasih sayang-Nya kepada para
makhluk.
Sejak awal sejarah Islam, kaum
Muslimin berpandangan bahwa rentetan Rasul-rasul Allah berakhir pada Muhammad: “ Muhammad bukan bapak dari salah
seorang dari kalian; dia adalah Rasul Allah
dan Nabi yang terakhir”(QS. 33:40).
Penafsiran ini menurut Fazlur Rahman memang benar, namun bagi kalangan outsider terasa agak bersifat dogmatif
dan kurang rasional. Untuk memperoleh penafsiran ini, para pemikir mengemukakan
beberapa argumentasi. Argumentasi-argumentasi ini mempunyai dua buah landasan
yang berbeda, namun saling berhubungan dan melengkapi.[5]
Beberapa modernis Muslim sangat
yakin bahwa melalui Islam beserta kitabnya, manusia telah mencapai kedewasaan
rasional dan oleh karena itu tidak diperlukan wahyu-wahyu Tuhan lagi. Akan
tetapi, karena umat manusia masih mengalami kebingungan moral, maka agar
konsisten dan berarti, argumentasi ini harus ditambahkan dengan: bahwa
kedewasaan moral seseorang manusia bergantung pada perjuangannya yang terus
menerus untuk mencapai petunjuk dari kitab-kitab Allah, khususnya Al-Quran dan
bahwa manusia belum menjadi dewasa dengan pengertian ia dapat hidup tanpa
petunjuk Allah. Selanjutnya Rahman berpandangan bahwa pemahaman yang memuaskan
mengenai petunjuk Allah tidak lagi bergantung pada pribadi-pribadi “pilihan”,
tetapi telah memiliki sebuah fungsi kolektif.
Proposisi bahwa Muhammad adalah
Nabi yang terakhir didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam, tidak ada
gerakan regilius yang bersifat global, memang ada penyiar-penyiar agama, tetapi
diantara mereka tidak ada yang berhasil.
Akan tetapi, keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir ini
jelas sekali merupakan sebuah tanggung jawab yang berat terhadap orang-orang
yang mengaku sebagai Muslim.[6]
3. Institusi-institusi Keislaman
Islam berkembang sebagai agama
yang memiliki kandungan nilai-nilai ilmiah, rasional dan mistik. Hal tersebut
karena perkembangan ini membawa dampak pada aspek lain, di antaranya pada
pembentukan institusi-institusi Islam.
Secara politis, pada masa awal Islam telah muncul system khilafah
sebagai institusi Islam dalam wilayah pengaturan kekuasaan politik.
Kepemimpinan Islam merupakan kepemimpinan yang dipilih melalui primus interpares, bukan kekuasaan turun
temurun seperti kerajaaan.
Secara antropologis, dalam
pengaturan untuk memenuhi kebutuhan akan pemuas seksual, masyarakat Muslim
membentuk lembaga pernikahan. Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan
institusi yang sakral, tidak hanya dianggap sebagai upacara rutinitas, namun
memiliki nilai ibadah sehingga seorang Muslim menikah bukan karena semata-mata
memenuhi kebutuhan seksual, melainkan beribadah juga.
Dalam aspek ritual, haji muncul
sebagai institusi Islam yang cukup spektakuler memiliki dampak kegiatan yang
luas. Begitu juga, shalat merupakan kegiatan yang dapat dilihat pubklik dunia,
sebab dimana ada umat Islam di situ akan ada tempat ibadah. Puasa, sebagai
ibadah yang telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum Islam, menjadi institusi
yang mewarnai aktivitas tahunan umat Islam selama satu bulan. Zakat sebagai
lembaga ekonomi dalam Islam merupakan karakteristik khas institusi dalam Islam
sekalipun belum berjalan secara optimal pemamfaatannya bagi umat Islam.[7]
4. Hubungan Islam-Kristen
Kontroversi antara Islam-Kristen
memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Jelas bahwa pemahaman diri dan watak
kedua agama itu yang “Universal” hanya mempersubur rasa permusuhan tersebut.
Pada umumnya, setiap pihak memandang dirinya sebagai agama yang mutlak, yang
tidak dapat mengakui agama lain di luar dirinya sebagai sama-sama bernilai
.
Disamping watak universalitas
Kristen, yang menegaskan bahwa kebenarannya tidak hanya berarti untuk
orang-orang Kristen, tetapi juga untuk seluruh umat manusia dan harus sama-sama
dianut, seorang misionaris, atau bahkan setiap orang Kristen yang terlibat
dalam kerja misi, selalu dipandang sebagai mengorek luka lama. Bahkan, jika
seseorang bekerja bukan maksud untuk mengajak orang lain berpindah agama,
melainkan benar-benar dengan semangat cinta dan pengabdian tulus kepada orang
lain, kerja semacam itu tetap dipandang sebagai perlu dipertanyakan motifnya.
Sebenarnya, perbedaan pandangan ini
telah terjadi sejak lama. Hal ini dapat dimuat pengalaman Maurice Bucaille,
dokter asal Perancis yang tekun meneliti tentang kitab-kitab agama besar dunia.[8]
Secara internasional, telah
dilakukan perbaikan hubungan antara Kristen dan Islam. Setelah dikeluarkannya
Dokumen “Orientasi untuk Dialog antara
Umat Kristen dan Umat Islam” oleh
konsili Vatican II ( 1963-1965 ) maka telah diupayakan usaha-usaha konkrit.
Kajian keislaman di kalangan para
orientalis lebih menunjukkan kemampuan mereka secara metodologis terhadap
berbagai disiplin ilmu yang relavan dengan objek kajian dalam mengkaji Islam.
Hal ini dapat dilihat pada berbagai pendekatan yang mereka pergunakan mulai
dari pendekatan filologis, histories, dan bahkan pendekatan-pendekatan lain
semisal sosiologis, antropologis, fenomenologis, dn sebagainya. Namun demikian,
di kalangan orientali kolonialistik, kemampuan mereka mengkaji Islam lebih
cenderung untuk menggali kelemahan Islam. Hal ini berbeda dengan orientalis di
era modern yang lebih cenderung fenomenologis, mereka memahami Islam
sebagaimana Islam dipahami oleh umat Islam itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendekatan historis ini adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu
sampai sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama
bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman
manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur
empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Berikut ini ada beberapa tema yang
akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
- Kitab
suci
- Kenabian
Muhammad
- Institusi-institusi
Keislaman
- Hubungan
Islam-Kristen
B.
SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini
dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta
menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur
Rahman, Tema Pokok Al-Quran, Bandung:Pustaka,
1983.
Dudung
Abdurrahman. Pendekatan Sejarah.
Maurice
Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern,
Jakarta:Bulan Bintang, 1978.
Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Dr. Jamali Sahrodi, Metodelogi Pendidikan Islam, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008.
[1] Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), hlm. 1
[2] Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah, hlm. 49
[3] Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an
dan Sains Modern, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), hlm. 4
[4] Ibid, hlm.5
[5] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran,( Bandung:Pustaka, 1983),
hlm. 118
[6] Ibid, hlm.119
[7] Dr. Jamali Sahrodi, Metodelogi Studi Islam,(Bandung:CV
Pustaka Setia, 2008), hlm.128
[8] Maurice Bucaiile,Bibel,Quran dan sains modern, (Jakarta:
Bulan Bintang,1978), hlm.130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar