Translate

Kamis, 11 September 2014

PENDEKATAN FILOLOGIS DAN HISTORIS




BAB 1
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
            Berikut ini ada beberapa tema yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
  1. Kitab suci
  2. Kenabian Muhammad
  3. Institusi-institusi Keislaman
  4. Hubungan Islam-Kristen
            Untuk mengetahui lebih jauh, penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “ PENDEKATAN FILOLOGIS DAN HISTORIS”.


B.     Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian Historis?
  2. Apa pengertian Kitab suci?
  3. Apa pengertian Kenabian Muhammad?
  4. Apa pengertian Institusi keislaman?
  5. Bagaimana hubungan Islam-Kristen?





C.     Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian Historis!
  2. Untuk mengetahui pengertian Kitab suci!
  3. Untuk mengetahui pengertian Kenabian Muhammad!
  4. Untuk mengetahui pengertian Institusi keislaman!
  5. Untuk mengetahui hubungan Islam-Kristen!

D.    Sasaran Yang Ingin Di Capai
            Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
 


BAB II
PENDEKATAN FILOLOGIS DAN HISTORIS

Pendekatan Historis
Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah (pohon) dan dari kata history dalam bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia.
Melalui  pendekatan ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkrit, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam, hal ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu  terbagi menjadi dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah.
Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang.[1] Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan gejala-gejala agama dengan menelusuri sumber di masa islam, maka pendekatan ini bisa didasarkan kepada personal historis atau atas perkembangan kebudayaan pemeluknya. Pendekatan semacam ini berusaha untuk menelusuri awal perkembangan tokoh keagamaan secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan sesuai dialog dengan dunia sekitarnya, serta mencari pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan kelompok-kelompok keagamaan.[2]
            Bersamaan dengan pendekatan filologis, pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam tradisi kajian islam modern. Kajian terhadap naskah-naskah klasik keislaman telah merangsang mereka untuk mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen yang telah ada.
            Berikut ini ada beberapa tema yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
              
1.      Kitab Suci
           Salah satu pedoman hidup dalam beragama adalah kitab suci, kitab suci agama Islam adalah Al-Qur’an. Sebagai simbol keabsahan suatu agama dan pedoman bagi para penganutnya, Islam memiliki nilai yang tinggi bagi para penganutnya. Keyakinan ini sepertinya masih salah dipahami oleh orang-orang Barat, terutama mereka yang masih terpengaruh oleh doktrin lama agama mereka, yakni agama Yahudi dan agama Nasrani.
           Pada awalnya, Yahudi dan Nasrani tidak mengakui Al-Qur’an sebagai wahyu Allah swt. Penolakan ini terjadi dan dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat terhadap sikap Maurice Bucaile disaat memperlakukan sama dan sejajar antara Al-Qur’an dengan kitab-kitab terdahulu sebagai wahyu yang tertulis.[3]
Studi al-Qur’an yang dilakukan sarjana Barat pada dasarnya terfokus pada persoalan-persoalan kritis yang mengelilingi kitab suci orang Islam ini. Persoalan-persoalan tersebut seperti pembentukan teks al-Qur’an, kronologis turunnya al-Qur’an, sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara al-Qur’an dengan kitab sebelumnya, dan isu-isu lain seputar itu.
Kebanyakan karya dalam problem itu dilakukan oleh sarjana abad 19, yang paling penting adalah Theodor Noldeke. Kajian kritis terhadap al-Qur’an adalah juga dilakukan oleh sekelompok sarjana Jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Proyek ini berhenti saat terjadi pengeboman kota Munich dalam Perang Dunia II yang menghancurkan manuskrip dan bahan-bahan lain.
Kesalahpahaman orang-orang Barat terhadap Islam memiliki dasar sentiment, fanatisme dan sikap ketidak adilan. Hal ini terungkap saat dibukanya dokumen “Orientasi untuk Dialog antara Ummat Kristen dan Ummat Islam”.[4]

2.      Kenabian Muhammad saw
            Aspek kenabian dalam lingkup pembicaraan agama-agama besar dunia merupakan sesuatu yang mesti diperjelas. Nabi-nabi besar yang telah diutus oleh Allah SWT.telah  membuktikan kasih sayang-Nya kepada para makhluk.
            Sejak awal sejarah Islam, kaum Muslimin berpandangan bahwa rentetan Rasul-rasul Allah berakhir pada Muhammad: “ Muhammad bukan bapak dari salah seorang dari kalian; dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir”(QS. 33:40). Penafsiran ini menurut Fazlur Rahman memang benar, namun bagi kalangan outsider terasa agak bersifat dogmatif dan kurang rasional. Untuk memperoleh penafsiran ini, para pemikir mengemukakan beberapa argumentasi. Argumentasi-argumentasi ini mempunyai dua buah landasan yang berbeda, namun saling berhubungan dan melengkapi.[5]
            Beberapa modernis Muslim sangat yakin bahwa melalui Islam beserta kitabnya, manusia telah mencapai kedewasaan rasional dan oleh karena itu tidak diperlukan wahyu-wahyu Tuhan lagi. Akan tetapi, karena umat manusia masih mengalami kebingungan moral, maka agar konsisten dan berarti, argumentasi ini harus ditambahkan dengan: bahwa kedewasaan moral seseorang manusia bergantung pada perjuangannya yang terus menerus untuk mencapai petunjuk dari kitab-kitab Allah, khususnya Al-Quran dan bahwa manusia belum menjadi dewasa dengan pengertian ia dapat hidup tanpa petunjuk Allah. Selanjutnya Rahman berpandangan bahwa pemahaman yang memuaskan mengenai petunjuk Allah tidak lagi bergantung pada pribadi-pribadi “pilihan”, tetapi telah memiliki sebuah fungsi kolektif.
            Proposisi bahwa Muhammad adalah Nabi yang terakhir didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam, tidak ada gerakan regilius yang bersifat global, memang ada penyiar-penyiar agama, tetapi diantara mereka tidak ada yang berhasil. Akan tetapi, keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir ini jelas sekali merupakan sebuah tanggung jawab yang berat terhadap orang-orang yang mengaku sebagai Muslim.[6]

3.      Institusi-institusi Keislaman
             Islam berkembang sebagai agama yang memiliki kandungan nilai-nilai ilmiah, rasional dan mistik. Hal tersebut karena perkembangan ini membawa dampak pada aspek lain, di antaranya pada pembentukan institusi-institusi Islam.  Secara politis, pada masa awal Islam telah muncul system khilafah sebagai institusi Islam dalam wilayah pengaturan kekuasaan politik. Kepemimpinan Islam merupakan kepemimpinan yang dipilih melalui primus interpares, bukan kekuasaan turun temurun seperti kerajaaan.
             Secara antropologis, dalam pengaturan untuk memenuhi kebutuhan akan pemuas seksual, masyarakat Muslim membentuk lembaga pernikahan. Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan institusi yang sakral, tidak hanya dianggap sebagai upacara rutinitas, namun memiliki nilai ibadah sehingga seorang Muslim menikah bukan karena semata-mata memenuhi kebutuhan seksual, melainkan beribadah juga.
             Dalam aspek ritual, haji muncul sebagai institusi Islam yang cukup spektakuler memiliki dampak kegiatan yang luas. Begitu juga, shalat merupakan kegiatan yang dapat dilihat pubklik dunia, sebab dimana ada umat Islam di situ akan ada tempat ibadah. Puasa, sebagai ibadah yang telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum Islam, menjadi institusi yang mewarnai aktivitas tahunan umat Islam selama satu bulan. Zakat sebagai lembaga ekonomi dalam Islam merupakan karakteristik khas institusi dalam Islam sekalipun belum berjalan secara optimal pemamfaatannya bagi umat Islam.[7]
            
4.      Hubungan Islam-Kristen
             Kontroversi antara Islam-Kristen memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Jelas bahwa pemahaman diri dan watak kedua agama itu yang “Universal” hanya mempersubur rasa permusuhan tersebut. Pada umumnya, setiap pihak memandang dirinya sebagai agama yang mutlak, yang tidak dapat mengakui agama lain di luar dirinya sebagai sama-sama bernilai . 
            Disamping watak universalitas Kristen, yang menegaskan bahwa kebenarannya tidak hanya berarti untuk orang-orang Kristen, tetapi juga untuk seluruh umat manusia dan harus sama-sama dianut, seorang misionaris, atau bahkan setiap orang Kristen yang terlibat dalam kerja misi, selalu dipandang sebagai mengorek luka lama. Bahkan, jika seseorang bekerja bukan maksud untuk mengajak orang lain berpindah agama, melainkan benar-benar dengan semangat cinta dan pengabdian tulus kepada orang lain, kerja semacam itu tetap dipandang sebagai perlu dipertanyakan motifnya.
            Sebenarnya, perbedaan pandangan ini telah terjadi sejak lama. Hal ini dapat dimuat pengalaman Maurice Bucaille, dokter asal Perancis yang tekun meneliti tentang kitab-kitab agama besar dunia.[8]
            Secara internasional, telah dilakukan perbaikan hubungan antara Kristen dan Islam. Setelah dikeluarkannya Dokumen “Orientasi untuk Dialog antara Umat Kristen dan Umat Islam” oleh konsili Vatican II ( 1963-1965 ) maka telah diupayakan usaha-usaha konkrit.
            Kajian keislaman di kalangan para orientalis lebih menunjukkan kemampuan mereka secara metodologis terhadap berbagai disiplin ilmu yang relavan dengan objek kajian dalam mengkaji Islam. Hal ini dapat dilihat pada berbagai pendekatan yang mereka pergunakan mulai dari pendekatan filologis, histories, dan bahkan pendekatan-pendekatan lain semisal sosiologis, antropologis, fenomenologis, dn sebagainya. Namun demikian, di kalangan orientali kolonialistik, kemampuan mereka mengkaji Islam lebih cenderung untuk menggali kelemahan Islam. Hal ini berbeda dengan orientalis di era modern yang lebih cenderung fenomenologis, mereka memahami Islam sebagaimana Islam dipahami oleh umat Islam itu sendiri.




 BAB III
            PENUTUP     
A.  KESIMPULAN
Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
            Berikut ini ada beberapa tema yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories :
  1. Kitab suci
  2. Kenabian Muhammad
  3. Institusi-institusi Keislaman
  4. Hubungan Islam-Kristen



B.  SARAN
            Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
 


DAFTAR PUSTAKA

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, Bandung:Pustaka, 1983.

Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah.

Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, Jakarta:Bulan Bintang, 1978.

Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Dr. Jamali Sahrodi, Metodelogi Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.















[1]  Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 1
[2] Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah, hlm. 49
[3] Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), hlm. 4
[4]  Ibid, hlm.5
[5] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran,( Bandung:Pustaka, 1983), hlm. 118
[6] Ibid, hlm.119
[7] Dr. Jamali Sahrodi, Metodelogi Studi Islam,(Bandung:CV Pustaka Setia, 2008), hlm.128
[8] Maurice Bucaiile,Bibel,Quran dan sains modern, (Jakarta: Bulan Bintang,1978), hlm.130              

Tidak ada komentar:

AMALAN AGAR SELAMAT IMAN KETIKA SAKARATUL MAUT

🔔 FAEDAH🔔 فائدة عن سيدى عبد الوهاب الشعرانى نفعنا الله به أن من واظب على قراءة هذين البيتين فى كل يوم جمعة توفاه الله على الإسلام م...