BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam pada
hakikatnya menghendaki umatnya untuk memiliki perhatian yang besar (concern)
terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini ditunjukkan ketika kehadiran Islam itu
sendiri, wahyu yang pertama kali diterima Rasulullah Saw. (surah al-‘Alaq ayat
1-5) adalah perintah untuk “membaca”, yang tentunya dengan berbagai penafsiran
terhadap kata “membaca” tersebut. Yang jelas, perintah tersebut merupakan suatu
landasan bagi umat Islam untuk terus “membaca”, yang secara substantif sebenarnya
memerintahkan umat Islam untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan
demikian, ketika sebagian “umat Islam” dengan berbagai dalih berusaha membatasi
“umat Islam” lainnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya
mereka telah mereduksi substansi perintah ayat di atas. Perbedaan interpretasi
ini semakin mengembang menuju aspek epistemologis ilmu tersebut.
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10
atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas
dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau
pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an,
hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang
filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam
dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran
yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di
kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya
masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok
pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah didirikan
pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya,
misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
Berdasarkan dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa penggunaan istilah
madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab
bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang
luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga terjadilah perkembangan
berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan
mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan
pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur’an,
serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan
tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat
pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa.
Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai
ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau
mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan
istilah madrasah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Madrasah
2.
Bagaimana pertumbuhan madrasah pada masa
Khulafaur Rasyisin
3.
Bagaimana pertumbuhan madrasah pada masa
Daulah Umayyah
4.
Bagaimana pertumbuhan madrasah pada masa
Daulah Abbasiyah
5.
Bagaimana pertumbuhan madrasah pada masa
Daulah Turki Usmani
6.
Bagaimana pertumbuhan madrasah di Indonesia
C.
Tujuan
1.
Unuk
mengetahui pengertian madrasah
2.
Untuk mengetahui pertumbuhan madrasah pada
masa Khulafaur Rasyisin
3.
Untuk mengetahui pertumbuhan madrasah pada
masa Daulah Umayyah
4.
Untuk mengetahui pertumbuhan madrasah pada
masa Daulah Abbasiyah
5.
Untuk mengetahui pertumbuhan madrasah pada
masa Turki Usmani
6.
Untuk mengetahui pertumbuhan madrasah di
Indonesia
BAB
II
PERTUMBUHAN MADRASAH DI MASA AWAL
A.
Pengertian Madrasah
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa
Arab sebagai keterangan tempat (isim makan), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu,
Darsan, dan Madrasatan”, yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau
diartikan “jalan” (Thariq). Sedangkan kata “Midras” diartikan “buku yang
dipelajari” atau “tempat belajar” dan
kata “Midraas” dengan alif panjang diartikan “rumah untuk mempelajari kitab
Taurat”. Disamping kata “Madrasah”
berasal dari kata “Darasa” yang artinya “membaca dan belajar” dalam bahasa
Hebrew atau Aramy mempunyai konotasi arti yang sama yakni “Tempat Belajar”.
Sedangkan madrasah dalam bahasa
Indonesia adalah “sekolah”.
Pada umumnya, pemakaian kata
“Madrasah” dalam arti sekolah tersebut, mempunyai konotasi khusus yaitu
sekolah-sekolah agama Islam yang berjenjang dari madrasah ibtidaiyah,
Tsanawiyah, dan Aliyah. Namun, kata “Madrasah” pada awal perkembangannya
mempunyai beberapa pengertian, diantaranya : berarti aliran atau mazhab,
kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik tertentu yang
berpegang pada metode atau pemikiran yang sama.
Beberapa pengertian di atas, terjadi
karena aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam
dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang saling berebutan pengaruh di kalangan
umat Islam dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya
masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok
pemikiran, mazhab atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagaian besar
madrasah yang didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama- nama mazhab yang
mashur, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Jadi kata “madrasah” pada awal perkembangannya,
diartikan jalan pemikiran seorang pemikir atau kelompok pemikir dalam suatu
bidang ilmu, kemudian diartikan tempat belajar atau lembaga pendidikan dan
pengajaran seperti sekolah yang berkonotasi khusus yaitu yang banyak
mengajarkan agama Islam atau ilmu-ilmu keIslaman. Kedua arti tersebut masih
terasa dilakukan mayoritas umat Islam sampai sekarang, karena madrasah
merupakan tempat penyebaran paham aliran atau mazhab yang dianut untuk
disosialisasikan ke seluruh umat. Misalnya madrasah NU yang disebut dengan
“Al-Ma’arif” menyebarkan misi Syafi’iyahnya, dan madrasah Muhammadiyah yang
membawa paham kemuhammadiyahannya, dan seterusnya.
B.
Pertumbuhan Madrasah Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Adapun metode yang mereka gunakan dalam
mengajar antara lain dengan bentuk halaqah. Yakni guru duduk disebagian ruangan
masjid kemudian dikelilingi oleh para siswa. Guru menyampaikan ajaran kata demi
kata dengan artinya dan kemudian menjelaskan kandunganya. Sementara para siswa
menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan oleh gurunya.
Yang
menjadi lembaga pendidikan dikala itu antara lain adalah:
1.
Kuttab, yakni sebagai lembaga
pendidikan terendah yang di dalamnya mengajarkan kepada anak-anak dalam hal
baca dan tulis dan sedikit pengetahuan-pengetahuan agama.
2.
Masjid, yakni sebagai pusat pendidikan umat Islam yang telah
mukallaf pada masa permulaaan Islam belum terdapat sekolah formil seperti yang
ada pada masa sekarang. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan kependidikan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak jauh dengan Nabi
saw. Namun disana sini terdapat beberapa perkembangan daerah lebih maju sesuai
dengan situasai dan kondisinya, tapi perkembangan itu tidak melunturkan
dasar-dasar pendidikan yang dilaksanakan pada masa Nabi saw.[1]
C.
Pertumbuhan Madrasah Pada Masa Daulah Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan,
bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama
yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di
kota-kota besar sebagai berikut: di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz),di kota
Basrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat
(Mesir). Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
1
Madrasah Makkah
Guru pertama
yang mengajar di Makkah, setelah penduduk Makkah takluk, ialah mu’az
bin zabal. Ialah yang mengajarkan Al-Qur’an dan mana yang halal dan haram.
Pada masa
khlaifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu
mengajar di sana masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqhi dan sastera.
Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Makkah, yang termasyhur seluruh
negara Islam.
2
Madrasah Madinah
Madrasah
Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena disanalah
tempatkhalifah : Abu Bakar, Umar dan Usman, disana banyak tinggal
sahabat-sahabat Nabi SAW. Ulama termasyhur di Madinah ialah :
a. Umar
bin Khattab.
b. Ali
bin Abu Thalib.
c. Zaid
bin Sabit.
d. Abdullah
bin Umar bin Khattab.
3. Madrasah
Basrah
Ulama sahabat
yang termasyhur di Basrah ialah Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa
Al-Asyari adalah ahli fiqhi dan ahli Hadis, serta ahli Qur’an. Sedangkan Anas
malik lebih termashyur dalam hadis.
Kemudian
madrasah Basrah itu melahitrkan Al-Hasan Basry dan ibnu Sirin pada masa
Umaiyah. Hasan Basry adalah ulama besar, berbudi tinggi, saleh serta fasih
lidahnya ia sangat berani-mengeluarkan pendapatnya.
4
Madrasah Kuffah
Ulama sahabat
yang tinggal di Kuffah ialah Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Mas’ud.
Pekerjaan Ali di Irak, ialah soal politik dan urusan peperangan. Sedangkan Ibnu
Mas’ud mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama. Ibnu Mas’ud diutus oleh Umar bin
Khattab ke kufah untuk menjadi guru. Ia ahli tafsir dan ahli fiqhi, bahkan ia
meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW.
5
Madrasah
Damsyik (Syam)
Setelah Syam
(syria) menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama
islam, maka Umar bin Khattab mengirimkan tiga guru agama ke negeri itu, yaitu :
Mu’az bin Jabal, Ubadah dan Abud Dardak. Ketiga guru itu mendirikan madrasah
Agama di Syam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama di negeri Syam pada
tiga tempat, yaitu Abud-Dardak di Damasyik, Mu’az bin Jabal di Palestina dan
Ubadah Hims.
Kemudian mereka
digantikan oelh murid-muridnya, tabi’in seperti seperti Abu Idris Al-Khailany,
Makhul Ad-Dimasyki, Umar bin Abdul Aziz dan Razak bin Haiwah.
Akhirnya
madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy yang
sederajat ilmunya dengan iamam Malik dan Abu-hanifah. Mazhabnya tersebar di
Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudain mazhabnya itu lenyab,karena
besar pengaruh mazhab Syafi’i.
6
Madrasah Fistat
(Mesir)
Setelah Mesir
menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. ulama yang mula-mula
mendirikan madrasah di mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di
Fistat (Mesir lama). ia ahli hadis dengan arti kata sebenarnya.
D.
Pertumbuhan Madrasah Pada Masa Daulah Abbasiyah
Pada masa abbasiyah ini terdapat perkembangan ilmu
pengetahuan, antara lain sebagai berikut:
1. Menerjemahkan buku-buku
dari bahasa asing (Yunani,Syiria Ibrani, Persia, India, Mesir, dan lain-lain)
ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran,
mantiq (logika), filsafat, aljabar, pesawat, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu kimia,
ilmu hewan, dan ilmu falak.
2. Pengetahuan keagamaan
seperti fikih, usul fikih, hadis, mustalah hadis, tafsir, dan ilmu bahasa
semakin berkembang karena di zaman Bani Umayyah usaha ini telah dirintis. Pada
masa ini muncul ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al Basri, Abu Bakar Ar
Razy, dan lain-lain.[2]
3. Sejak upaya
penerjemahan meluas, kaum muslim dapat mempelajari ilmu-ilmu ilmu-ilmu itu
langsung dalam bahasa arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut
memperluas peyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruaan pemahaman kesalahan
pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat atau ide baru.
Tokoh-tokohnya antara lain sebagai berikut :
1. Ilmuwan untuk
mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik
peninggalan ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates,
dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu
diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga
penelitian, Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
2. Dalam bidang filsafat
antara lain tercatat Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusydi
(Averroes). Di bidang sains ada Al-Farghani, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Umar
Khayyam dan Al-Thusi. Di bidang kedokteran tercatat nama Al-Thabari, Ar-Razi
(Rhazes), Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang ilmu kimia terkenal
nama Ibnu Hayyan. Di bidang optika ada Ibnu Haytsam. Di bidang geografi ada
Al-Khawarizmi, Al-Ya’qubi, dan Al-Mus’udi. Dalam bidang ilmu kedokteran hewan
ada Al-Jahiz, Ibnu Maskawaihi, dan Ikhwanussafa, Ibnu Sina dan seterusnya yang
tidak muat lembaran ini jika diurut satu persatu.
3. Dalam bidang ilmu fiqih
terkenal nama Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’ie, dan Ahmad bin Hanbal.
Dalam ilmu kalam ada Washil bin Atha, Ibnu Huzail, Al-Asy’ari, dan Maturidi.
Dalam ilmu Tafsir ada Al-Thabari dan Zamakhsyari. Dalam ilmu hadits, yang
paling populer adalah Bukhari dan Muslim. Dalam ilmu tasawuf terdapat Rabi’ah
Al- Adawiyah, Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid
Al-Bustami.[3]
Sejak Akhir abd ke-10,
muncul sejumlah tokoh wanita dibidang ketatanegaraan dan politik seperti
Khaizura, Ulayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusastraan dikenal
Zubaidah dan Fasl. Di bidang Sejarah, muncul Shalikhah Shuhda. Di bidang
kehakiman, muncul Zainab Umm Al Muwayid. D I bidang seni musik, Ullayyah
dikenal dan sangat tersohor pada waktu itu.
Pada masa bani
Abbasiyah, juga terjadi kemajuaan di bidang perdagangan dan melalui ketiga kota
ini dilakukan usaha ekspor impor. Hasil idustri yang diekspor ialah permadani,
sutra, hiasan, kain katun, satin, wool, sofa, perabot dapu atau rumah tangga,
dan lain-lain.
Bidang pendidikan
mendapat perhatian yang sangat besar. Sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi
sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangaan
pendidikan pada masa bani abbasiyah dibagi 2 tahap. Tahap pertama (awal abad ke-7
M sampai dengan ke-10 M ) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai
system pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan
pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur
non-Arab.[4]
E.
Pertumbuhan Madrasah Pada Masa Turki Usmani
Akibat
kegigihan dan ketangguhan yang dimiliki oleh para pemimpin dalam mempertahankan
Turki Usmani membawa dampak yang baik sehingga kemajuan-kemajuan dalam
perkembangan wilayah Turki Usmani dapat di raihnya dengan cepat. Dengan cara
atau taktik yang dimainkan oleh beberapa penguasa Turki seperi Sultan Muhammad
yang mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam
negerinya yang kemudian diteruskan oleh Murad II (1421-1451M).
Sehingga Turki Usmani mencapai
puncak kejayaan pada masa Muhammad II (1451- 1484 M). Usaha ini di tindak
lanjuti oleh raja-raja berikutnya, sehingga dikembangkan oleh Sultan Sulaiman
Al-Qanuni. Ia tidak mengarahkan ekspansinya kesalah satu arah timur dan Barat,
tetapi seluruh wilayah yang berada disekitar Turki Usmani itu, sehingga
Sulaiman berhasil menguasai wilayah Asia kecil.
Kemajuan dan perkembangan wilayah
kerajaan Usmani yang luas berlangsung dengan cepat dan diikuti oleh
kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan lain yang penting, diantaranya dalam
bidang pendidikan.
Salah satu lembaga yang maju pada
masa turki usmani adalah madrasah, didorong mempelajari beragam ilmu
pengetahuan. Lembaga pendidikan berserak saat berlangsungnya pemerintahan Turki
Usmani. Salah satunya adalah madrasah. Bukan hanya kuantitas bangunan yang
menjadi perhatian, juga kualitas pendidikan. Terobosan bermakna dalam hal ini
adalah perumusan kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan di madrasah berkembang
secara dinamis menuju ke arah lebih baik. Salah satu hal yang berlaku dalam
proses pengajaran di madrasah Turki Usmani adalah mendorong para siswa untuk
mengakses sebanyak mungkin buku yang membahas beragam bidang ilmu.[5]
Hal ini
merupakan uraian perinci dari tujuan utama pendirian lembaga pendidikan berupa
madrasah. Yaitu, melahirkan siswa Muslim yang memiliki banyak pengetahuan dan
memegang teguh nilai-nilai moral yang baik dan benar. Madrasah digiring untuk
menciptakan para siswa yang pandai sekaligus baik hati dan berbudi luhur. Pada
masa pemerintahan Sultan Sulaiman, terdapat kode hukum yang menjabarkan secara
umum mengenai tujuan pendidikan.
Disebutkan dalam kode hukum itu
bahwa tujuan pendidikan adalah guna memahami misteri penciptaan dan membangun
sebuah negara yang berjalan secara teratur dan baik. Ini diyakini akan menjamin
kelestarian, ketertiban, dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan lainnya,
pendidikan menjadi sebuah sarana untuk menuai ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan. Lalu, mendapatkan penjelasan mengenai kebajikan, bakat, dan
agama, hingga akhirnya para siswa memiliki kapasitas yang baik.
Sejumlah sumber menyebutkan mengenai
penetapan tujuan dan kurikulum pendidikan di madrasah itu. Di antaranya,
berasal dari cendekiawan Ahmed bin Isameddin, yang hidup pada abad ke-16.
Bahkan, beliau merupakan seorang pengajar di madrasah.
Demikian pula, dengan kajian
terhadap proses pendidikan Katib Chelebi pada abad ke-17. Bahkan, ada pula
sumber lainnya yang berupa risalah berjudul Kewakib-i Seb'a atau Seven Planets,
yang ditulis pada 1742 Masehi. Penulisan risalah ini dilakukan atas permintaan
dubes Prancis Marquis de Villanueva untuk Istanbul saat itu.
F.
Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia
Penetapan madrasah yang pertama berdiri juga merupakan suatu yang
masih didiskusikan. Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama
didirikan adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat). Nama resminya
adalah Madrasah Adabiyah School yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada
tahun 1909. Pada tahun 1915, nama itu berubah menjadi HIS Adabiyah.[6]
Terlepas
dari diskusi tentang madrasah yang pertama berdiri pada masa-masa pertumbuhan
ini dapat disebutkan beberapa nama madrasah baik yang ada di Minangkabau maupun
Jawa. Di Minangkabau selain Madrasah Adabiyah, terdapat Madrasah Diniyah Labai
Al-Yunusiah dan Madrasah Diniyah Putri yang didirikan oleh Rangkayo Rahmah
al-Yunusiah. Dia adalah saudara putri Zainuddin Labay. Di Jawa Timur ada
Madrasah Nahdlatul Ulama, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Taswiq
Thullab di Jawa Tengah, madrasah persatuan umat Islam di Jawa Barat dan
Madrasah Jam’iyat Khair di Jakarta. Adapun di Sulawesi dapat disebutkan
madrasah Amiriyah Islamiyah dan Madrasah Ash-Shultoniyah di Kalimantan.
Pada
periode pertumbuhan, keberadaan madrasah satu sama lain saling lepas. Tidak ada
hubungan langsung antara madrasah yang ada di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan
Sulawesi. Tidak ada aturan umum yang mengikat semua madrasah di semua daerah di
atas sehingga ada kesamaan kurikulum, bentuk kelembagaan dan struktur manajemennya.
Kesamaan diantara mereka terletak pada sistem pengajarannya yang berkelas dan
muatan kurikulum yang memperhatikan ilmu-ilmu agama.
1. Madrasah Pada Masa Penjajahan Belanda
Madrasah Pada Masa Penjajahan
Belanda Seperti sudah diketahui bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
di Indonesia lahir pada awal abad ke-20 M. Dengan kata lain, lembaga ini muncul
ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Konsekuensinya keberadaan madrasah
tidak dapat lepas dan luput sama sekali dari pengaruh kebijakan pendidikan
pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyelenggarakan
pendidikan yang tujuan utamanya adalah memenuhi kepentingan mereka. Sistem dan
metode pendidikan baru mereka perkenalkan. Tetapi, pendidikan ditujukan untuk
menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang
murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.[7]
Dalam konteks ini, pendidikan
madrasah tidak sepenuhnya, kalau tidak sama sekali, sejalan dengan kebijakan
penjajah. Pada gilirannya hal ini akan mengurangi perhatian mereka terhadap
madrasah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah perhatian yang bersifat
positif. Kenyataan yang terjadi justru
kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam bersifat menekan.
Kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar menjadi alasan
mereka. Penjajah melakukan pengawasan berlebihan terhadap lembaga pendidikan
Islam, seperti madrasah. Bentuk peraturan yang mencerminkan kekhawatiran mereka
adalah ordonansi guru. Peraturan ini bersifat politis untuk menekan sedemikian
rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap
pemerintah. Ordonansi ini mengharuskan seorang guru agama untuk mempunyai surat
izin. Dalam perkembangannya, aturan melunak menjadi keharusan bagi seorang guru
agama untuk melapor atau memberitahu saja.[8]
2. Madrasah Pada Masa Penjajahan Jepang
Madrasah pada masa penjajahan jepang di awal kehadirannya pada
tahun 1942, Jepang bersikap seolah-olah membela kepentingan Islam. Kebijakan
yang ditempuh adalah :
a)
Menempatkan
umat Islam sendiri sebagai pemimpin Kantor Urusan Agama. Pada masa Belanda,
kantor ini dipimpin oleh orientalisten Belanda.
b)
Melakukan
kunjungan ke pondok pesantren yang besar-besar dan memberikan bantuan
kepadanya.
c)
Pelajaran
budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama diberikan di sekolah
negeri.
d)
Mengizinkan
berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim,
Kahar Mudzakar dan Bung Hatta.[9]
Kebijakan yang
tampaknya memihak umat Islam itu, sesungguhnya demi kepentingan Jepang sendiri
dalam rangka perang Asia Timur Raya. Kekuatan Islam dan nasionalis harus dibina
untuk mendukung suksesnya prang itu. Ketika perang telah berkobar dan
berkembang menjadi perang dunia ke II, secara umum urusan pendidikan menjadi
terbengkalai. Beruntunglah madrasah-madrasah di lingkungan pesantren yang bebas
dari pengawasan langsung pemerintah Jepang masih dapat berjalan dengan agak
wajar.
[5] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, Cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), halaman. 54
[6] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2001), halaman. 193
[7] Zuhairini,
dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), halaman.
146
[8] Maksum,
op.cit., hlm. 115.
[9] Zuhairini,
dkk., Sejarah Pendidikan Islam,,, halaman. 146