BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Formulasi kebijakan sebagai
bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena
implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap
formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada
ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi. Aktivitas-aktifitas sekitar
formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan
baik yang formal maupu yang tidak formal. Peserta perumusan kebijakan tersebut
sangat bergantung seberapa besar para peserta dapat memainkan peranannya
masing-maisng dalam memformulasikan kebijakan. Dengan demikian rumusan
kebijakan adalah karya group, baik group yang menjadi penguasa formal maupun
yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka saling mengintervensi, Saling melobi
bahkan salin mengadakan bargaining.
Perkembangan sistem pendidikan di Indonesia menuntut penyesuaian dalam
segala hal yang mempengaruhinya. Salah satu yang tetap ada dan langgeng yang
selalu mendapat sorotan adalah evaluasi belajar siswa atau pencapaian hasil
belajar siswa.
Namun pencapaian hasil belajar siswa yang optimal itu akan tergantung dan
selalu pengaruhi oleh kurikulum, sarana belajar, guru dan siswa sendiri. Selain
itu kebijakan-kebijakan pemerintah tentang sistem pendidikan nasional juga
sangat mempengaruhi kualitas pendidikan.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan
standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu bagi
seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara atau teknik-teknik yang baik
untuk mengevaluasi anak didiknya, sejauh mana pencapaian siswa dalam menguasai
materi yang disampaikan.
B.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian Forrmulasi
kebijakan?
- Apa pengertian Implementasi
Kebijakan?
- Apa pengertian evaluasi kebijakan?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
pengertian Forrmulasi kebijakan!
2. Untuk mengetahui
pengertian Implementasi Kebijakan!
3. Untuk mengetahui
pengertian evaluasi kebijakan!
D.
Sasaran Yang Ingin Di Capai
Semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta
menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
BAB II
FORMULASI KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI
A. Formulasi
Kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai
bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena
implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap
formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada
ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).
menurut Winarno (1989, 53),Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan.
Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus
dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh
kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan
yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan
selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan
dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh
seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak
suatu alternatif kebijakan yang dipilih.[1]
Adapun menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a.
Adanya pengaruh
tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat
dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh
terhadap proses formulasi kebijakan.
b.
Adanya pengaruh kebiasaan
lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber
dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti,
meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah
sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.
c.
Adanya pengaruh sifat-sifat
pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat
keputusan berperan besar sekali.
d.
Adanya pengaruh dari kelompok
luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh,
bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
e.
Adanya pengaruh keadaan masa
lalu.
Pengalaman latihan dan
pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan
atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan
yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya
kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan
disalahgunakan.[2]
v Formulasi kebijakan pendidikan
Aktivitas-aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar
peserta perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupu yang tidak
formal. Peserta perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung seberapa besar
para peserta dapat memainkan peranannya masing-maisng dalam memformulasikan
kebijakan. Dengan demikian rumusan kebijakan adalah karya group, baik group
yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka
saling mengintervensi, Saling melobi bahkan salin mengadakan bargaining.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah
memenuhi kriteria berikut: pertama, rumusan kebijakan, termasuk kebijakan
pendidikan tidak mendektekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan
lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan,
dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang.
Hal ini berarti, bahwa waktu , biaya dan tenaga yang telah banyak dihabiskan,
tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu situasi saja.
B. Implementasi Kebijakan
Implementasi
sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh
legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang
berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi
begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak
dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi
merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat
mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat
beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa
ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut kamus Webster yang dikutib oleh
Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to
implement. Dalam kamus besar webster, to implement
(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect
to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab
(2006:64)).
Pengertian
implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga menurut Van Meter
dan Van Horn bahwa Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan baik
oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:65).
Definisi
lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier yang menjelaskan
makna implementasi dengan mengatakan bahwa:
Hakikat
utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tersebut
mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo
(2010:87)).
Menurut Novi
Hendra, S. IP , Implementasi kebijakan adalah aktifitas-aktifitas yang
dilakukan untuk melaksanakan suatu kebijaksanaan.[3] Implementasi kebijakan
merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Implementasi
kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Pada
prinsipnya ada tiga hal yang perlu dipenuhi dalam hal kefektifan implementasi
kebijakan.[4] Pertama, apakah
kebijakannya sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana
kebijaksanaan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memecahkan masalah yang
hendak dipecahkan. Kedua, apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai
dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Ketiga, apakah kebijakan dibuat
oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan
karakter kebijakan
Berdasarkan
beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana
kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan
atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
v Implementasi Kebijakan Pendidikan di
Indonesia
Salah satu
tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak
asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama,
dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik
yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial
ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk
menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan
nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang
menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa
dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan
masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem
pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan
pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa,
tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan
tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi
yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang
terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.[5]
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut
merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan
pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat
dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat
dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi
melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah
sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang
mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi).
Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1):
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam
konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif,
dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat
yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus
meningkatkan diri.
Tujuan utama
MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan
mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah,
peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan
suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi
masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah
pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga,
melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya
manusia, yang menekankan pada profesionalisme.[6]
C. Evaluasi
Kebijakan Pendidikan
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti
penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah
evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu
objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur
untuk memperoleh kesimpulan.[7]
Menurut Arikunto (2004 : 1) evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi
yang berguna bagi pihak decision maker
untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan. Sedangkan, Lessinger (Gibson, 1995: 374) mengemukakan bahwa
evaluasi adalah proses penilaian dengan jalan membandingkan antara tujuan yang
diharapkan dengan kemajuan atau prestasi nyata yang dicapai. Gibson dan Mitchell (Indrakusuma, 1993) juga berpendapat bahwa proses evaluasi adalah untuk mencoba
menyesuaikan data objektif dari awal hingga akhir pelaksanaan program sebagai
dasar penilaian terhadap tujuan program.
Budiardjo
dalam Subandi (2005) menyatakan bahwa kebijakan adalah sekumpulan keputusan
yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih
tujuan-tujuan tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan
itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
Evaluasi kebijakan
adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak
hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang membandingkan antara
hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah
ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi kebijakan kemudian
akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah
dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara standar yang telah
ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai.
v
Macam-Macam
Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Evaluasi kebijakan pendidikan dapat digolongkan sesuai dengan berbagai
macam sudut tinjau. Penggolongan dengan berbagai macam sudut tinjau ini, justru
akan memperkaya khazanah dan perspektif evaluasi kebijakan. Dengan demikian,
hakikat evaluasi kebijakan ini akan tertangkap secara jelas.[8]
Ditinjau dari segi waktu mengevaluasi, evaluasi kebijakan pendidikan dapat
digolongkan menjadi dua. Pertama, yang berasal dari
pandangan linier, evaluasi dilaksanakan setelah
implementasi kebijakan.Berarti, menurut pandangan linier ini, yang dievaluasi
terutama adalah implementasi kebijakan. Kedua, yang berasal dari pandangan
komprehensif, evaluasi dilaksanakan di hampir setiap tahap proses
kebijakan. Evaluasi dilaksanakan baik pada saat perumusan, legitimasi,
komunikasi, implementasi, partisipasi bahkan terhadap evaluasinya sendiri.
Setiap tahapan proses kebijakan senantiasa dievaluasi, dan setelah itu kemudian
diadakan perbaikan.
Ditinjau dari kriteria evaluasi, dapat dibedakan atas dua golongan,
antara lain:
1.
Evaluasi yang menggunakan kurikulum. Kriterium ini
lazimnya berupa kriterium mengacu kepada yang sudah terstandar (standard
criteria reference). Yang pertama ini berarti telah dibuat patokan secara
nasional dan daerah-daerah yang melaksanakan kebijakan tersebut harus
menjadikannya sebagai patokan.
2.
Kriterium yang dibuat
berdasarkan acuan norma (norm criteria reference). Yang kedua lebih
menunjuk kepada, apakah suatu daerahyang melaksanakan kebijakan tersebut,
berada dibawah atau di atas rata-rata daerah-daerah secara rasional.
Ditinjau dari sasarannya, evaluasi kebijakan
dapat dibedakan menjadi dua macam, ialah evaluasi proses
dan evaluasi dampak. Yang dimaksud dengan evaluasi proses kebijakan pendidikan
adalah evaluasi yang bermaksud mengetahui baik tidaknya proses kebijakan
pendidikan, sedangkan evaluasi dampak bermaksud mengetahui seberapa dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan pendidikan terhadap masyarakat
sasarannya.
Ditinjau dari segi
kontinuitasnya, evaluasi kebijakan pendidikan dapat dibedakan menjadi, evaluasi
formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan
secara terus menerus, sedangkan evaluasi sumatif
dilaksanakan setiap periode waktu tertentu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan
tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya
dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping
itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya
sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi.
Implementasi sering dianggap hanya
merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para
pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi
dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu
kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan
dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang
membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar
yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi kebijakan kemudian
akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah
dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara standar yang telah
ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai.
B.
SARAN
Semoga dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan bagi pembaca
lainnya serta menambah wawasan dalam bidang karya ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mufiz, Pengantar Administrasi Negara,
Jakarta,:Universitas Terbuka Depdikbud, 1999
Arikunto,
Suharsimi. 2004.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly.1995. Organisasi dan Manajemen: Perilaku,
Struktur, dan Proses. Jakarta: Erlangga
Imron, Ali. 2008. Kebijakan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.
Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Gunawan, H. Ary,.1986.Kebijakan-kebijakan
Pendidikan di Indonesia , Jakarta :Bina Aksara.
Riant Nugroho D, Kebijakan Publik:
Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta, PT Alex Media Komputindo,
2003
[2]
Ibid.,
[3]
Ali Mufiz, Pengantar Administrasi Negara,
(Jakarta,:Universitas Terbuka Depdikbud, 1999) ,hal. 108
[4]Riant Nugroho D, Kebijakan
Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,( Jakarta: PT Alex Media
Komputindo, 2003), hal.179
[5] Gunawan, H.
Ary,. Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia ,( Jakarta :Bina
Aksara,1986).
[6]
Ibid.,
[8]
Ibid.,